Bengkulu, – Beberapa waktu kebelakang kehidupan berbangsa kita terganggu oleh beberapa kasus penistaan agama. Adapun terkait penistaan agama ini dilakukan oleh oknum bernama Desak Made Darmawati dan Joseph Paul Zhang. Atas polemik ini menimbulkan reaksi dari Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin melalui keterangan resminya Rabu (21/04/2021).
“Dua kasus penistaan agama tersebut menghancurkan jiiwa kehidupan berbangsa kita. Jadi saya sangat berharap kepada aparat penegak hukum dapat menindaklanjuti masalah tersebut secara Arif dan bijaksana sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan juga saya meminta kepada seluruh umat agama yang merasakan luka atas sikap serta pernyataan kedua oknum tersebut untuk dapat menahan diri agar tidak terjadi perpecahan diantara kita. Karena kita yakin proses hukum pasti berjalan dan lalu memberikan rasa adil bagi kita semua”, ujarnya.
Adapun salah satu kasus ini bermula Seorang dosen perguruan tinggi swasta bernama Desak Made Dharmawati di Jakarta terjerat dugaan penistaan agama. Ceramah dosen itu membuat marah masyarakat Hindu dan masyarakat Bali.
Dan selanjutnya adalah pengakuan Jozeph Paul Zhang sebagai nabi ke-26 di akun YouTubenya. Jozeph dituding menghina agama Islam dan mendapat kecaman luas dari masyarakat hingga tokoh agama dan politik di Indonesia.
Atas kejadian tersebut, senator muda asal Bengkulu ini mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk membaca ulang sejarah bahwa Republik Indonesia berdiri atas dasar perbedaan. Dimana paham harmoni (pluralisme) menjadi alat perekat yang mewakili sikap keselarasan dan saling menghormati dari setiap perbedaan.
Dahulu lanjut Sultan, para founding fathers dan seluruh rakyat Indonesia sadar dengan hanya bersatu, bangsa kita bisa lepas dari penjajahan dan dapat melangkah maju meletakkan dasar-dasar pembangunan. Maka sudah kewajiban kita generasi sekarang untuk merawat kehidupan bernegara dalam bingkai kesatuan.
Fenomena intoleransi dan segala bentuk diskriminasi yang berbasis SARA, permusuhan atas sikap politik, hingga radikalisme dalam kehidupan rakyat harus dilawan, tambahnya. Sebab jika dibiarkan maka akan mengaburkan nilai kekuatan besar kebhinekaan kita.
“Maka kita semua tidak boleh gagal dalam memahami semangat Bhineka Tunggal Ika. Dan harus mulai membangun kesadaran bersama untuk tidak menonjolkan sikap keakuan atau kekamian apalagi perilaku mengolok-olok prinsip dan keyakinan orang lain yang berbeda”, tegasnya.
Sultan juga memberi contoh terhadap perilaku yang selama ini seringkali menunjukkan wajah arogansi individu yang berpotensi memecah belah yang mesti kita hindari. Seperti sikap merasa pemahamannya paling benar, dan bila tidak sama harus disingkirkan, atau jika tidak segolongan maka suatu kelompok akan menolak untuk mengikuti.
“Masih banyak sekali diantara kita yang fanatisme buta (objektifitas mati) dengan mulai melihat siapa, bukan apa yang dikatakan atau diperbuat. Sehingga bila bukan dari golongan atau paham yang sama maka semua akan dianggap salah, begitupun sebaliknya. Dan ini tidak boleh merasuk dalam cara pikir kehidupan kita sehari-hari”, tegasnya.
Melihat keterkaitan atas beberapa masalah penistaan dan isu aktual kebangsaan yang terjadi, Sultan B Najamudin yang juga pernah menjabat Wakil Gubernur Bengkulu ini juga menyoroti hilangnya kewajiban pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam PP No 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dalam Pasal 40 ayat 2 dan 3 Bab IV yang mengatur mengenai kurikulum wajib pada pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi tidak ada kewajiban pendidikan Pancasila.
Sultan mendukung bahwa sistem pendidikan kita tidak seharusnya hanya berfungsi dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan, tapi juga nilai, khususnya Pancasila. Dan ini mesti dimulai dari proses pendidikan formal yang dalam seluruh jenjangnya merupakan jalur utama dalam membangun serta membina kesadaran, pemahaman, dan karakter yang bersifat unity in diversity.
“Pemerintah harus segera melakukan revisi PP 57/2021, bukankah kita sudah sepakat bahwa Pancasila adalah konsensus nasional, sebagai dasar negara serta landasan filosofis dalam berbangsa dan bernegara. Kebutuhannya adalah penguatan, bukan malah dihilangkan dalam standar pendidikan nasional. Jika kita memaknai Pancasila sebagai cara berpikir sebagai masyarakat Indonesia, maka penistaan agama, beserta kasus SARA lainnya tidak akan terjadi”, paparnya.
Terakhir Sultan juga berharap prosesi politik di Indonesia kedepannya merefleksikan tatanan dari nilai ke-Indonesiaan, dengan tidak menggunakan lagi embel-embel politik identitas. Sebab baginya jika budaya politik demikian terjadi, maka akan menimbulkan potensi perpecahan akibat dari konflik kepentingan dimasyarakat.
“Jika kehidupan sosial, politik dan budaya kita mengedepankan isu identitas, maka bangsa ini sangat rentan terhadap perpecahan. Dari pengalaman yang lalu kita pernah terbelah dalam perbedaan suksesi Pemilu, dan akibatnya butuh waktu lama untuk menyatukan kembali konsepsi kita dalam bernegara. Maka sekarang sudah saatnya pemerintah melakukan rekonsiliasi sekaligus konsolidasi terhadap apapun potensi yang dapat memecah belah kesatuan kita”, tutupnya.