Oleh : Sheli Marcelina (Mahasiswi Fakultas Syariah / Hukum Tata Negara IAIN Bengkulu)
Kebijakan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia telahmengalami perubahan yang sangat signifikan pasca disahkannya Undang-UndangNomor3Tahun2020tentangPerubahanatasUndang-UndangNomor4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 3 Tahun2020) pada tanggal 10 juni 2020. UU No. 3 Tahun 2020 dibentuk dan disahkan denganbeberapaproblem yang cukup serius baik bagi penulis terkhususnya dari segi prosespembentukanmaupunsubstansimaterimuatannya.
Persoalantersebutdiantaranya secara formil dan materiil, contoh permasalahan materil yaitu adanya perubahan pasal tentang bahwa daerah tidak memiliki kewenangan terkait kebijakan pengelolaan lingkungan dari pengaturan dan perizinan hingga pengawasan,sehinggasemakinmemperparahkerusakan/pencemaranlingkunganakibatkegiatanusahapertambanganyangizinnyadiperolehdaripemerintahpusat.yaitu terdapat di Pasal 4 Ayat 2 “ penguasaan mineral dan batu baraoleh negara di selenggarakan oleh pemerintah pusat “ jelas ini melanggar konsep otonomi daerah yang terdapat di dalam UU No 3 Tahun 2004“bahwa pemda di beri kewenangan untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan di wilayah nya masing “ .
Contoh adanya penyelesaian permasalahan hak atas tanah yang di lakukan pemerintah pusat melalui mediasi, sementara dalam ketentuan UU Minerba yang lama penyelesaian hak atas tanah di lakukan oleh pemegang izin.
Dalam hal ini pemerintah pusat tidak akan mampu melakukan pengawasan atau menyelesaikan permasalahan atas sejumlah IUP dan IUPK yang beroperasi pada sejumlah wilayah indonesia karena yang benar-benar tau keadaan daerah itu hamya pemerintah daerah itu sendiri.
Persoalan materil yang ke 2 yaitu ancaman atau keberlangsungan hidup masyarakat setelah berlakunya uu minerba ini terdapat perubahan pasal 47 (a) “ jangka waktu pertambangan batu bara dengan paling lama 20 tahun di jamin memperoleh perpanjangan 2x masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sedangkan di dalam UU yang lama perpanjangan izin tercantum dengan dapat di perpanjang yang di ganti di jamin pada revisi inidan pasal 169 (a) “ kontrak atau perjanjiam yang belum memperoleh perpanjangan di jamin mendapatkan 2x perpanjangan dalam bentuk iupk selama 10 tahun dan pemerintah se akan2 memaksakan diri memberikan jaminan itu terhadap pengusaha atau pembisnis tambang yang di untungkan,.
Kemudian tak ada pasal yang mengatur batasan operasi pertambangan di seluruh tubuh kepulauan yang sudah di penuhi perizinan, tumpang tindih dengan kawasan daerah aliran sungai, mengancurkan kawasan hutan dan tumpang tindih dengan kawasan beresiko bencana belum lagi masyarakat yang terkena dampak yang di timbul kan mulai dari makan leluhur, kebun, sungai, dan tempat2 lainnya yang menjadi rusak karena proyek dari pertambangan tersebut.namun pemerintah buta akan hal ini mereka semua buta akan hal ini padahal secara sadar pemerintah memberikan suatu jaminan untuk melindungi elit korporasi namun tidak bagi lingkungan hidup terutama rakyat yang terkena dampak itu tak sedikipun pemerintah memikirkan kepentingan rakyat – rakyat daerah sekitar.
Dalam catatan terakhir 2018 terdapat 262 Masyarakat Adat yang dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya. Termasuk Masyarakat Adat yang wilayah adatnya telah diberikan ijin oleh negara kepada perusahaan tambang. Ironisnya, UU Minerba yang baru justru melindungi kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan pejabat negara dalam memberikan ijin tambang. UU Minerba yang baru ini justru bersifat sangat represif terhadap Masyarakat Adat.
Misalnya, Pasal 162 dan 164 sebagai ketentuan yang dapat digunakan untuk menyeret Masyarakat Adat ke penjara. Apalagi ketentuan ini tidak dijelaskan sehingga sangat memungkinkan multi-tafsir dalam implementasinya. Sifat UU Minerba yang di satu sisi melindungi pejabat negara dan di sisi lain represif terhadap Masyarakat Adat jelas menunjukkan bahwa UU Minerba ini adalah instrumen yang melayani kekuasaan semata.