BENGKULU,- Dalam pemberitaan media massa kembali ramai tentang pro kontra terhadap kebijakan intruksi Gubernur DKI Jakarta No. 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara, antara lain pembatasan usia kendaraan.
Dimana dalam instruksi tersebut, Anies meminta memperketat ketentuan uji emisi bagi seluruh kendaraan pribadi mulai tahun 2019 ini. Selain itu, kendaraan pribadi berusia lebih dari 10 tahun bakal dilarang beroperasi di DKI Jakarta pada 2025.
Hal ini pun tak ayal menarik berbagai macam komentar dari banyak pihak, termasuk oleh senator muda asal daerah pemilihan Provinsi Bengkulu, Sultan B Najamudin.
Menurutnya, melalui keterangan resmi Sabtu (27/02/2021) Wakil Ketua DPD RI tersebut meminta kebijakan itu mesti dijalankan dengan tetap memperhatikan dari berbagai macam aspek lainnya secara komprehensif selain hanya dari motif bagaimana mengatasi polusi udara dijakarta. Sebab baginya kebijakan publik harus berorientasi pada kepentingan publik secara luas, termasuk pada implikasi sosio, ekonomi dan budaya masyarakat.
“Saya berharap regulasi bersama tekhnis operasionalnya yang sedang disusun harus dilandasi rasa keadilan sosial bagi seluruh warga DKI Jakarta. Dan juga dalam proses pembentukan maupun kesiapan penerapan aturan tersebut mesti memenuhi seluruh prasyarat instrumen-instrumen penunjang yang disusun dengan melewati tahapan-tahapan yang tetap memperhatikan setiap rasio dampak positif-negatifnya”, tutur pria yang akrab dipanggil SBN tersebut.
Mengutip data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan mobil penumpang yang terdaftar secara resmi pada tahun 2014-2025 (berumur 10 tahun) adalah sebanyak 3,2 juta unit. Sementara motor sebanyak 13,9 juta unit.
“Bagi sebagian orang mungkin kebijakan ini hanya memiliki orientasi kesehatan lingkungan, tapi bagi saya banyak aspek yang mesti diperhatikan, semisalnya berapa banyak usaha bengkel yang akan berkurang pendapatannya karena memiliki segmentasi pasar dari mobil bekas, berapa banyak sektor usaha mikro kecil dan menengah dalam kegiatan usahanya bergantung pada kendaraan tua dalam menjalankan roda bisnisnya, atau bagaimana dengan para pemilik dan pekerja angkutan umum yang memiliki armada berumur lebih 10 tahun, dan juga yang terpenting berapa banyak jumlah keluarga yang terdampak sentimen negatif akibat dari kebijakan tersebut. Jadi jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan tersebut mesti tetap harus terukur”, tegas Sultan.
Dalam kesempatan ini pula, mantan wakil Gubernur Provinsi Bengkulu tersebut sebenarnya sangat mendukung setiap langkah pemerintah DKI Jakarta mengurangi beban polusi maupun upaya dalam mengurai kemacetan di ibukota selama ini.
“Kita semua punya harapan yang sama untuk hidup disebuah kota yang sehat serta ramah lingkungan. Dan hidup harmonis bersama alam adalah keinginan setiap orang. Hanya saja pemerintah DKI Jakarta juga harus meninjau rencana pelaksanaan regulasi tersebut dari segala aspek kehidupan publik agar regulasi ini menjadi kepentingan bersama”, ujarnya.
Ketua sub wilayah barat I DPD RI ini berkesimpulan mengenai polusi udara di DKI Jakarta bukan hanya akibat dari emisi tahun pakai kendaraan, tapi penggunaan kendaraan pribadi yang tidak terkontrol membuat polusi semakin menggila di langit-langit Jakarta.
“Emisi yang berpengaruh terhadap pencemaran udara di DKI Jakarta tidak hanya didominasi sumbangan oleh asap knalpot kendaraan yang telah berumur 10 tahun bahkan lebih. Tapi juga dikarenakan meledaknya kendaraan yang beroperasi setiap harinya. Ini bermula disebabkan oleh biaya untuk kepemilikan serta biaya operasional kendaraan yang mudah dan murah”, tambahnya.
Oleh karena itu solusinya yang paling utama bukan menghilangkan kendaraan berumur 10 tahun lebih, tetapi justru dengan menghidupkan seluruh transportasi publik. Maka kader jebolan HIPMI tersebut sangat menghimbau agar pemerintah DKI Jakarta untuk tetap terus memperbaiki, menginovasi, mengadopsi, memodifikasi dengan arah orientasi peningkatan kualitas dan kuantitas transportasi publik. Agar kemudian terjadi pergerakan transisi pemanfaatan dari kendaraan pribadi menuju kendaraan massal.
Wakil Ketua DPD RI juga memberi contoh bagaimana pemerintah Jepang yang memiliki kebijakan sangat baik dalam rangka mengalihkan pengguna kendaraan pribadi agar beralih ke angkutan transportasi umum/massal.
Harga mobil di Jepang sebenarnya terbilang cukup terjangkau. Namun biaya pasca kepemilikan mobil di sana cukup besar. Mulai dari biaya parkir yang sangat mahal, bahan bakar mahal, hingga pengujian kendaraan bermotor (KIR) dua tahun sekali untuk mobil bensin dan satu tahun sekali untuk mobil diesel. Sehingga kepemilikan dan pemakaian kendaraan kendaraan roda empat disana akan menghadapi konsekuensi “high cost” apabila dibandingkan dengan ongkos ketika memanfaatkan sarana layanan transportasi publik.
“Jadi kedepan, paradigma gaya hidup masyarakat dalam memanfaatkan moda transportasi harus dirubah. Dan itu mesti dimulai dengan regulasi yang mampu “memaksakan” kesadaran kolektif kepada semua pihak”, tutupnya.(RLS)