HUKRIM  

Rivalitas Aset Petahana untuk Kursi Nomor Satu

ilustrasi (net)

Pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang dilakukan ke empat kalinya pada tahun 2020 ini semakin berwarna. Birokrat mendominasi calon orang yang akan menduduki kursi nomor satu di daerah, tetapi keberminatan pengusaha juga masih tetap tinggi.

Jika Pilkada tahun 2017 keberminatan berbagi rata antara birokrat dan swasta, maka pada pilkada tahun 2018 dan 2020, birokrat mendominasi pencalonan kepala daerah sebesar 55%.

Dari birokrat yang terdiri dari anggota legislative, petahana, ASN, BUMN/BUMD, TNI/Polri yang mencalonkan diri menjadi pimpinan daerah, keberminatan Petahana selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Tercatat 23% peserta pilkada berasal dari petahana pada tahun 2020 ini, meningkat dari tahun 2018 dan 2017 yang hanya 18% dan 17% serta tahun 2015 yang hanya 10%.

Petahana adalah calon kandidat pilkada yang saat ini menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah di suatu pemerintah daerah.

Petahana mencalonkan diri untuk menjadi kepala/wakil kepala daerah di jabatan sebelumnya atau untuk jabatan kepala/wakil kepala daerah dengan strata lebih tinggi (wakil menjadi kepala daerah atau bupati/walikota menjadi gubernur/wakil gubernur).

 

pie1

Pada Pilkada tahun 2020, dari total 555 Calon Kepala Daerah (Cakada) yang berprofesi Birokrat terdapat 332 petahana yang kembali mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Tercatat 5 (lima) orang Gubernur yang kembali mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur yaitu H. Sugianto Sabran (Gubernur Kalimantan Tengah), Rohidin Mersyah (Gubernur Bengkulu), Sahbirin Noor (Gubernur Kalimantan Selatan), Olly Dondokambey (Gubernur Sulawesi Utara) dan Irianto Lambrie (Gubernur Kalimantan Utara).

Selain itu terdapat 4 (empat) orang Wakil Gubernur, 5 (lima) orang Bupati dan 2 (dua) orang Walikota yang mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur.

Sementara itu, untuk posisi Calon Wakil Gubernur terdapat 9 (sembilan) orang petahana yang kembali maju yang terdiri atas 1 (satu) orang Wakil Gubernur, 7 (tujuh) orang Bupati dan 1 (satu) orang Walikota.

Adapun jabatan pemilihan dengan persentase Cakada petahana terbanyak adalah Jabatan Calon Bupati yang diisi 206 orang petahana yang terdiri atas 127 orang Bupati dan 79 orang Wakil Bupati.

Berdasarkan seluruh rekapitulasi data tersebut, tidak ditemukan adanya petahana yang mencalonkan diri untuk posisi down-grade (Bupati/Walikota menjadi Calon Wakil Bupati atau Calon Wakil Walikota, atau Gubernur menjadi Calon Wakil Gubernur).

 Jenis Pemilihan Jumlah Wilayah yang Melaksanakan Pilkada Tahun 2020 Jumlah Wilayah dengan Calon PertahanaLegislatif

Pemilihan Gubernur

9 8 89%

Pemilihan Bupati

224 185 83%

Pemilihan Walikota

37 30 81%

Total

270 223 83%

 

Meskipun persentase kemenangan Cakada petahana menurun dari 36% di tahun 2017 menjadi 31% di tahun 2018, ternyata tidak menyurutkan niat Cakada Petahana untuk mengikuti kontestasi Pilkada 2020.

Apa yang menyebabkannya? Padahal seperti diketahui berdasar hasil survey terdahulu banyak yang menyebutkan bahwa biaya pilkada untuk bupati/walikota saja bisa berkisar Rp 20-30 miliar, sedangkan gubernur berkisar Rp20-100 Miliar.

Marijan (2010) menyatakan bahwa terdapat 3 modal yang harus dimiliki oleh para calon kandidat pilkada yaitu modal politik (political capital), modal social (social capital), dan modal ekonomi (economic capital).

Kandidat petahana merupakan pihak yang paling diuntungkan terkait modal politik dan modal sosial dalam kontestasi pilkada serentak.

Namun untuk memenangkan pilkada, modal ekonomi tetap memberi peran penting. Modal ekonomi merupakan kekayaan dalam bentuk uang tunai maupun asset bergerak dan tidak bergerak yang dimiliki oleh para kandidat.

Modal ekonomi memainkan peranan penting bagi kandidat untuk dapat melaksanakan kampanye pilkada serantak. Namun, penelitian Litbang KPK untuk pilkada tahun 2015, 2017 dan 2018 bahwa tingginya biaya pencalonan dan kampanye yang dikeluarkan oleh kepala daerah seringkali tidak sebanding dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh calon kepala daerah.

Rata-rata nilai harta kekayaan cakada dan cawakada yang dilaporkan ke KPK menunjukkan nilai yang menurun dari pertama kali pilkada serentak dilaksanakan.

Jika pada pilkada 2017 rata-rata harta pasangan calon pilkada Rp.30,7 Milyar, maka pada pilkada tahun 2020 ini rata-rata harta kekayaan cakada yang dilaporkan melalui LHKPN senilai Rp 10,5 Milyar.  

Menariknya pada setiap pilkada, selalu terdapat pasangan calon maupun calon yang memiliki harta kekayaan 0 atau negatif.  Pada pilkada 2017, total harta kekayaan terendah Rp 0 dilaporkan oleh pasangan calon dari  Kabupaten Buleleng, Bali.

Namun secara individu, terdapat 2 cakada dengan harta negative yaitu dari calon wakil walikota Payakumbuh dan calon wakil Bupati Banggai Kepulauan, dengan nilai kekayaan terendah Rp (-) 312,8 juta.

Pada pilkada tahun 2020, terdapat 12 Cakada melaporkan harta kekayaan negatif. Nilai harta kekayaan terendah dilaporkan oleh calon Wakil Bupati Kab Sijunjung, dengan total harta kekayaan defisit Rp 3,6 Milyar yang disebabkan oleh adanya kepemilikan hutang sebesar Rp 7,9 Milyar. 

Tingginya rata-rata harta kekayaan pasangan calon pada tahun 2017 dikarenakan terdapatnya outlier nilai harta dari salah satu kandidat pasangan calon di DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang mencatatkan nilai kekayaannya sebesar Rp 4,0 Triliun.

Harta kekayaan Sandiaga Uno yang dilaporkan senilai Rp 3,99 Milyar merupakan sumber outlier. Pada Pilkada 2018, nilai harta kekayaan maksimum pasangan calon tercatat Rp. 359,3 Milyar.

Pada tahun 2020 ini nilai harta kekayaan tertinggi sebesar Rp 674,2 Milyar dilaporkan oleh Calon Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan atas nama Muhidin yang berasal dari kandidat non petahana.

Rata-rata harta kekayaan cakada petahana dan non petahana yang dilaporkan kepada KPK melalui LHKPN menunjukkan bahwa secara rata-rata nilai harta kekayaan petahana dan non petahana tidak terlalu berbeda.

Pada tahun 2020 rata-rata harta kekayaan petahana yaitu Rp 10,2 Milyar, 4,7% lebih rendah dibandingkan Cakada Non Petahana Rp 10,8 Milyar.  

Pencatatan harta kekayaan tertinggi calon gubernur berasal dari petahana atas nama Olly Dondokambey yang mencalonkan diri untuk menjadi Gubernur Sulawesi Utara  dengan nilai Rp 179,2 Milyar.  

Dari jabatan calon walikota, petahana yang tercatat memiliki harta kekayaan tertinggi  adalah Moh. Ramdhan Pomanto yang mencalonkan diri untuk menjadi Walikota Makassar dengan nilai harta kekayaan Rp 197,5 Milyar.

Petahana lain yang memiliki harta kekayaan lebih dari Rp100 Milyar adalah H.Sugianto Sabran, calon Gubernur Kalimantan Tengah dengan harta kekayaan Rp. 101,2 Milyar.

Total terdapat 14 Cakada yang memiliki kekayaan lebih daro Rp 100 Milyar, 3 diantaranya Petahana, 1 PNS/ASN, 2 anggota DPRD Provinsi dan sisanya 8 orang dari swasta/pengusaha.

Meskipun memiliki rata-rata total nilai harta yang lebih tinggi, Sebagian besar Cakada Non Petahana menempatkan asetnya dalam bentuk tanah/bangunan.

Sementara berdasarkan ketersediaan dana kas/atau setara kas, Cakada Petahana justru mencatatkan rata-rata nilai kas sebesar Rp1,8 miliar atau 50% lebih tinggi dari Cakada Non Petahana yang hanya mencatatkan rata-rata kepemilikan kas sebesar Rp1,2 miliar.

Komponen lain yang dapat dijadikan parameter kekuatan finansial Cakada adalah kepemilikan hutang, dimana Cakada Non Petahana yang mencatatkan kepemilikan hutang 20% lebih tinggi dibandingkan Cakada Petahana.

Sehingga dapat dikatakan secar umum peta kekuatan finansial Cakada Petahana dan Non Petahana berimbang namun kesiapan Cakada Petahana dalam mencadangkan dana untuk biaya Pilkada lebih baik dibandingkan Cakada Non Petahana yang lebih cenderung menyimpan hartanya dalam bentuk aset non likuid.

Berdasarkan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) pada pilkada 2018, tercatat rata-rata pengeluaran pasangan calon adalah sebesar Rp1,4 miliar.

Tingginya minat berbagai kalangan untuk maju dalam bursa pemilihan kepala daerah terlepas dari besarnya biaya yang dikeluarkan, memunculkan sebuah pertanyaan adakah keuntungan secara finansial yang nantinya mungkin diperoleh oleh para kepala daerah terpilih?

Dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai keuntungan finansial yang didapatkan dari jabatan kepala daerah sekaligus mengukur kekuatan ekonomi cakada dan cawakada Petahana, dilakukan analisis terhadap pertumbuhan aset Cakada Petahana, analisis dengan membandingkan nilai harta yang dilaporkan pada saat mencalonkan diri sebagai Cakada Periode Pertama (2015/2016) dengan pelaporan LHKPN terkini (2019/2020). Dari total 332 Cakada Petahana, analisis hanya dapat diterapkan pada 299 Cakada dikarenakan 33 Cakada lainnya tidak melaporkan LHKPN pada Periode Pertama.

Secara umum, Cakada Petahana rata-rata mencatatkan kenaikan nilai harta sebesar 2 – 4 Miliyar selama menjabat pada periode pertama. Sebanyak 62% Cakada Petahana mencatat kenaikan harta kekayaan  lebih dari 1 Milyar, bahkan 29 diantaranya mencatatkan kenaikan harta kekayaan lebih dari 10 Miliar saat menjabat di periode tersebut. Namun demikian, terdapat 39 Cakada yang mencatatkan penurunan nilai harta kekayaan selama periode tersebut.

 

 Rentang Pergerakan Nilai Harta Kekayaan Jumlah Cakada

Bertambah > 100 Miliar

2

Bertambah 10 – 100 Miliar

27

Bertambah 1 – 10 Miliar

156

Bertambah 1 Juta – 1 Miliar

63

Tetap

1

Berkurang 1 Juta – 1 Miliar

19

Berkurang 1 – 10 Miliar

17

Berkurang 10 – 100 Miliar

14

Berkurang >100 Miliar

0

Idealnya, kenaikan dan penurunan harta kekayaan dipengaruhi adanya peningkatan atau penyusutan nilai asset, perolehan dan pelepasan harta baik secara jual beli, waris ataupun hibah serta peningkatan atau penurunan jumlah pendapatan/pengeluaran.

Namun, bisa terjadi peningkatan atau penurunan harta kekayaan secara tidak wajar yang disebabkan adanya harta/pendapatan/pengeluaran yang tidak dilaporkan dalam LHKPN atau adanya pelaporan nilai harta/pendapatan/pengeluaran yang tidak sesuai.

Tidak menutup kemungkinan, harta kekayaan yang dilaporkan Cakada Petahana berada pada kondisi tersebut. Jika kondisi tersebut yang terjadi, hal ini bisa menjadi indikasi adanya fraud yang bisa jadi mengarah kepada Tindak Pidana Korupsi.

Sumber : Aida Ratna Zulaiha, Sari Angraeni, Safrina, Ranika Permata – Komisi Pemberantasan Korupsi