Bengkulu, mediabengkulu.co – Tradisi melemang pada suku Besemah dan suku Semende di Kabupaten Kaur pada hari besar keagamaan dan adat, lemang adalah Penganan dari beras ketan yang dimasak dalam seruas bambu setelah sebelumnya digulung dengan selembar daun pisang, bambu yang berisi beras ketan kemudian diberi santan kelapa dan dibakar sampai matang.
Proses mulai dari membuat ruasan bambu sebagai wadah dan dilapisi daun pisang, diisi beras dan dimasukan santan kelapa kemudian dibakar sampai matang itu disebut melemang.
Saya sebagai salah satu warga Kab. Kaur mengakui tradisi ini masih sangat kental dalam adat budaya masyarakat di Kabupaten Kaur.
Tradisi melemang ini biasanya dilakukan dalam menyambut hari besar keagamaan seperti Hari raya idul fitri dan hari raya idul adha serta memperingati tahun baru islam.
Selain itu tradisi melemang juga kerap dilakukan dalam tradsi adat budaya seperti dalam adat Lamaran, Pernikahan, Syukuran bahkan sampai merayakan Hasil Panen Padi.
Di Kabupaten Kaur, Tradisi Melemang masih sangat kental pada adat budaya di Suku Besemah di Padang Guci maupun Suku Semende di Muara Sahung, Suku Nasal dan sebagian Masyarakat di Sambat dan Ulu Tetap.
Melemang dalam adat budaya Suku Besemah dan Suku Semende di Kabupaten Kaur bukan hanya sekadar hidangan.
Namun sudah menjadi sebuah tradisi untuk terus menjaga peninggalan tak benda dari nenek moyang.
Tradisi Melemang Perkawinan
Perkawinan, sebagaimana diketahui merupakan tahapan yang sangat penting bagi seseorang karena merupakan Babakan baru yang harus di lalui dalam kehidupannya, hidup bersama dengan orang lain dalam bahtera rumah tangga.
Setiap masyarakat mempunyai aturan (tata cara) tentang pelaksanaan perkawinan tentang pelaksanaan perkawinan dan tahapan-tahapan yang akan dilalui (turun-temurun).
Menurut keyakinan masing-masing jika salah satu tahapan itu tidak dipenuhi dirasakan belum lengkap.
Pada masyarakat Besemah di Padang Guci dan Semende di Muara Sahung, sebagaimana diketahui, Lemang menjadi salah satu persyaratan adat yang harus dipenuhi oleh pihak pengantin Laki-laki (Lanang) dalam upacara perkawinan (Bimbang Adat).
Pihak penganti Laki-laki harus membawa dan menyerahkan Lemang kepada pihak perempuan pada waktu meminang seorang gadis dan pada waktu pernikahan.
Jika pihak Laki-laki (Lanang) tidak membawa Lemang pada waktu itu maka perkawinannya dianggap belum lengkap secara adat dan akan menjadi bahan gunjingan di tengah Masyarakat.
Setelah adanya kesepakatan antara Bujang dan Gadis untuk menikah, orang tua pihak Laki-laki akan datang ke rumah pihak Perempuan.
Menanyakan apakah anak bujangnya memang sudah ada kemufakatan dengan anak Gadis tuan rumah untuk menikah.
Kegiatan ini dinamakan Nue’i Rasan atau Merasan. Pada waktu ini belum membawa Lemang, tetapi membawa makanan lain yakni Kue (Buak) Lemak Manis dan Pisang Goreng.
Budaya melemang tidak merata ada beberapa bagian daerah yang tidak memakai adat tersebut.
Tetapi sebagian besar masyarakat kaur masih banyak Memakai adat Melemang yang sering kali dilakukan ketika selesai Memanen padi dan pada Malam Nujuh Likur. (Widiya Gustina, Mahasiswa Universitas Dehasen Bengkulu)