banner 1000x250
Kolom  

MASA DEPAN PENDIDIKAN DARING DI TAHUN WABAH

Rizki Ulfahadi

 

Oleh: Rizki Ulfahadi *)

Mediabengkulu.co – Datangnya wabah virus corona atau disebut juga Covid-19membawa perubahan yang signifikan. Tidak hanya di Indonesia bahkan di dunia. Tidak hanya di kota-kota, desa-desa di penjuru negeri pun juga merasakan impaknya. Bukan menyerang satu bidang saja, tapi banyak sektor yang terpaksa menerima dampaknya. Covid-19 begitu revolusioner, salah satunya terhadap tatanan pendidikan di tanah air.

Bulan Maret tahun 2020 ini, lembaga pendidikan beramai-ramai mengeluarkan surat edaran yang mengumumkan perubahan sistem belajar menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) lantaran merespon perkembangan Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan dan mengancam keselamatan jiwa. Pendidikan di nusantara pun bermetamorfosis. Mulai dari pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Jika sebelumnya sejoli anak muda bisa berangkat bareng ke sekolah atau kampus, maka sekarang masih tetap bareng, tetapi bareng dalam daring (online). Dari memulai belajar dengan bersama berangkat, menjadi memulai belajar dengan bersama mengaktifkan kuota. Saling sapa pun tidak tatap muka, melainkan melalui media.

Sudah sebulan lebih pendidikan daring yang dinamakan PJJ ini diterapkan. Sudah banyak pula serba-serbi ceritanya. Sistem pendidikan daring ada positifnya, seperti bisa belajar dimana dan kapan saja serta tidak mesti ada penyeragaman pakaian. Bahkan ada yang menyepakati jadwal belajarnya menjadi malam hari. Fleksibel soal waktu dan tentunyalebih sedikit mengeluarkan tenaga sebab#dirumahaja.

Namun, kekurangan pendidikan daring tak kalah ramai diperbincangkan. Bahkan banyak meme ataupun video pendek yang menjamur di media sosial sebagai ekspresi kekesalan dari system baru yang terpaksa diterapkan ini. Problem utama yangsering disoroti banyak pihak adalah keterbatasan bahkan ketidaktersediaan fasilitasuntuk mendukung sistem ini serta ketidaksiapan pendidik dan peserta didik.

Dalam hal fasilitas, tidak semua orang memilikikomputer atausmartphone, di desa-desa jaringan internet begitu lemah sampai ada yang harus ke bukit terlebih dahulu demi mendapatkan sinyal yang memadai, kuota internet terbatas, ada pula yang sedang PJJ tiba-tiba kuota habis sedangkan belum ada uang untuk membeli lagi.

Walaupun PJJ terlihat praktis, namun dibalik itu ada kebutuhan biaya yang cukup tinggi. Bagi yang tidak mampu,jangankan untuk menyimak belajar, absen saja tidak dapat. Penerapan PJJ oleh guru ataupun dosen juga menyulut emosi. Sebagaimana yang ditulis di tirto.id, orangtua siswa mengeluh anaknya yang masih kelas 3 SD setiap hari mendapat 40-50 soal yang harus dikumpulkan hari itu juga.

Kasus lainnya, seorang siswa kelas 7 SMP juga mengaku mengerjakan soal terus menerus dari pukul 7 pagi sampai 5 sore. Saat dihitung, jumlah soal yang ia kerjakan mencapai 255 soal.Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, sebanyak 81,8% responden mengaku PJJ empat pekan hanya diberikan tugas oleh guru, bahkan jarang ada penjelasan materi dan diskusi.

Potret tersebut menandakan bahwa sebenarnya tenaga pendidik tidak siap, sehinga yang bisa mudah dilakukan hanya memberikan tugas. Tanpa berpikir matang bagaimana psikologis anak yang #dirumahaja. Data dari KPAI mengatakan, per 19/03/2020 lalu, KPAI sudah menerima 51 pengaduan dari berbagai daerahtentang siswa yang mengeluh akanberatnya tugas dari guru.

Berdasarkan survei KPAI juga, terhadap 1.700 siswa berbagai jenjang pendidikan pada 13-20 April 2020, sekitar 76,7% di antaranya mengaku tidak senang mengikuti PJJ. Ternyata, PJJ menimbulkan ketidakbahagiaan. Keefektifan pendidikan daring patut dipertanyakan.Selain kritikan kepada pendidik sebagai penyelenggara PJJ yang semestinya patut diinsyafi dan dievaluasi, ada masalah lain yang lebih besar lagi.

Potretnya, ada anak SD yang mengerjakan 50 soal sehari dan ada anak SMP dari jam 7 sampai 5 sore mengerjakan 255 soal, tetapi ada juga yang tidak belajar, malah main-main. Data dari tirto.id juga menyebutkan,rabu (18/3/2020) kemarin, ditemukan 100 siswa yang malah main di 55 warnet di Jakarta Barat. Di Jakarta saja begitu, tentu hal serupa lebihbanyak terjadi di daerah lain, hanya saja tidak terdata.

Tidak hanya pendidik yang tidak siap. Siswa ataupun mahasiswa bisa jadi jauh lebih tidak siap dengan cara baru ini. Selain kendala fasilitas, persoalan mental adalah masalah besar yang kronis dan kambuh ketika keadaan berubah drastis di tahun wabah. PJJ yang dihadirkan untuk bisa belajar di rumah demi menjaga keselamatan diri, malah disalahgunakan dengan bermain berleha-leha keluar rumah yang membahayakan diri.

Belum lagi penyakit lama yang sekarang menjadi trendi. Seperti rebahan, mager, PJJ sekadar mengambil absen, tidak disiplin, tidur siang padahal ada jam belajar, serta gangguan lainnya yang membuat PJJ menjadi tidak efektif dan nilainya tereduksi. Lebih gawat lagi, adamindset yang berkembang bahwa PJJ bagaikan libur, sehingga hawa libur yang dekat dengan bermalas-malasan tumbuh subur.

Sebagian realitasnya memang demikian. Potret lain PJJ. Terutama di desa-desa yang fasilitas teknologinya tidak memadai. Sehingga pendidikan daring hanya dilakukan sekadarnya dan menjadi longgar. Mungkin lebih tepatnya, “terasa libur” atau “semi libur”.Implikasinya, ada banyak waktu luang yang sebenarnya bisa dipakai untuk belajar lebih produktif.Terlebih, pendidikan daring ini diprediksikan masih akan berlangsung cukup lama kedepannya.

Para ilmuwan dari Singapore University of Technology and Design (SUTD) memberikan prediksi Covid-19 di Indonesia berakhir pada 6 Juni 2020 dengan 97% dari total kasus pandemik teratasi dan baru akan teratasi 100% pada awal September 2020. Sementara itu, menurut Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, Indonesiaakan pulih dari Covid-19 pada Juli 2020.

Prediksi tersebut bisa kemungkinan tepat jika pemerintah sukses melakukan tes masif dan pelacakan pada bulan April hingga Meiserta masyarakat mematuhi protokol kesehatan dengan baik. Jika tidak, maka bisa lebih lama dari itu. Poinnya adalah, PJJ atau pendidikan daring ini dipastikan masih akan berlangsung cukup lama, 2 sampai 5 bulan ke depan bahkan bisa lebih lama dari itu.

Disinilah kesadaran dalam belajar sangat dituntut kehadirannya. Namun realitasnya sudah diketahui bersama, bahwa kesadaran untuk belajar masih sangat minim. Belum lama kemarin adalah tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional, maka momennya juga bagi kita untuk sama-sama merenung, bahwa pendidikan kita belum menumbuhkan kesadaran, salah satunya kesadaran dalam belajar.

Padahal, menurut Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of The Opressed(Pendidikan Kaum Tertindas), tujuan inti dari pendidikan adalah penyadaran.Freire mengajarkan ribuan anak-anak buta huruf di Amerika Latin agar mereka bisa membaca dan belajar, karena itu adalah cara dan proses untuk hadirnya kesadaran yang lebih agung, yaitu kesadaran terhadap realitas diri dan dunia.

Sehingga pendidikan nantinya dapat membangkitkan kesadaran di sanubari setiap manusia untuk berperan mengubah kenyataan yang membelenggu atau menyengsarakan. Sekarang, bagaimana kesadaran terhadap diri dan dunia bisa optimal tumbuh jika kesadaran terhadap cara dan proses untuk itu tidak ada. Yaitu kesadaran dalam belajar. Belajar adalah cara orang tertindas agar sadar akan ketertindasannya.

Hari ini, dengan beberapa catatan yang sudah dipaparkan di atas, sangat sulit sepertinya untuk mengatakan bahwa kesadaran dalam belajar sudah terbudayakan dengan baik. Segelintir kecil mungkin sadar, tapi mayoritasnya tidak. Maka, dalam merespon tantangan di tahun wabah ini, era di mana anak-anak bangsaakan banyak #dirumahaja, orang tua sebagai pemimpin sekolah utama di rumah, harus memaksimalkan perannya.

Sekaranglah momentumnya orang tua untuk lebih peduli dan memaksimalkan perannya. Membuktikan bahwa dirinya sekolah yang pertama dan utama. Atau, dalam bahasa Ki Hajar Dewantara, menjadikan setiap rumah adalah sekolah. Namun, disini orang tua juga harus merefleksikan diri terhadap perannya selama ini dalam mendidik anak. Bagaimana semestinya mendidik anak. Apakah cara selama ini sudah tepat atau belum.

Berharap hadirnya anak yang sadar akan belajar, terutama di tahun wabah, semestinya dimulai dari kesadaran orang tua pula dalam mendidik anak dengan cara yang tepat.M. Quraish Shihab mengatakan, syarat pertama dalam mendidik anak adalah pengertian dan kesadaran orangtua terhadap wujud dan kepribadian sang anak.

Buya Hamka juga mengutip hadis Nabi SAW. yang bersabda: “siapa yang memiliki anak, maka hendaklah ia ‘menjadi anak’ pula”. Maksudnya, hendaklah orang tua memahami, menjadi sahabat, mendidik dengan cara yang sesuai dengan anak dalam konteks kedisinian dan kekinian. Sehingga, proses belajar dinikmati bahagia oleh anak. Sadar akan belajar. Belajar tidak lagi memberatkan.

Olehkarena itu, masa depan pendidikan daring di tahun wabah dipengaruhi oleh banyak pihak. Tidak bisa mengandalkan satu pihak saja.Selain orang tua, pemerintahharus meningkatkan ketersediaan fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar pendidikan daring. Pendidik juga tidak perlu sungkan untuk evaluasi diri, kesadaran pendidik dalam mendidik dengan cara yang lebih kreatif dengan orientasi memanusiakan manusia lebih dibutuhkan saat ini.

Akhirnya, kita semua harus mempunyai kesadaran untuk sama-sama insaf dan sadar untuk bergerak berbenah menyambut penuh cinta menghadapi tantangan pendidikan yang lebih besar, jika tidak, maka masa depan pendidikan daring di tahun wabah akan ambyar.Pendidikan daring hendaknya tetap mencerdaskan dan membahagiakan. Untuk masa depan pendidikan yang lebih baik,sudah waktunya pemerintah, guru dan orang tua berkolaborasi lebih intens dan intim.

*) Penulis Adalah : Presiden Fatahillah Reseachers for Science and Humanity (FRESH) UIN Jakarta Periode 2019-2020

DATA PRIBADI PENULIS

Nama Rizki Ulfahadi
Tempat, Tanggal Lahir Talang Arah, 30 Mei 1999
Jenis Kelamin Laki-laki
Alamat            Asal Kab. Mukomuko, Prov. Bengkulu
Alamat Saat Ini Jl. Legoso Raya, No. 66, Ciputat Timur, Tangsel
Jabatan Presiden Fatahillah Reseachers for Science and Humanity (FRESH) UIN Jakarta
No. Hp/WA 0821 7621 5821
Email [email protected]