Oleh : Lestary Siagian *)
MediaBengkulu.co – Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang merupakan bentuk ancaman faktual disekitar perbatasan yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Pembalakan liar atau illegal logging masih banyak marak terjadi akibat tingginya permintaan pasar terhadap kayu asal Indonesia, banyak hutan yang menjadi korban pembalakan liar.
Illegal loggin telah menjadi penyebab utama kerusakan hutan yang sangat parah. Bahkan lebih dari itu, penebangan haram ini telah melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara terorganisir serta sistematis. Kejahatan ini bukan hanya terjadi di kawasan produksi, melainkan juga sudah merambah ke kawasan lindung dan taman nasional.
Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam memberantas illegal loggin disebabkan illegal loggin termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir, yitu ada actor intelectualnya, ada pelaku materialnya. Pelaku material bisa buruh penebang kayu yang hanya diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing dari oknum TNI atau Polri aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat.
Pemberantasan pembalakan liar merupakan salah satu agenda prioritas Indonesia yang masuk dalam Nawacita pemerintah Joko Widodo serta sasaran strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Rencana Strategis (Renstra) 2015 – 2019.
Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pembalakan liar melingkupi seluruh kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara ilegal di sepanjang rantai pasokan kayu, mulai dari kegiatan penebangan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, pemasaran, penjualan, pembelian, hingga pemanfaatan kayu secara ilegal. Sementara itu, penebangan hutan secara ilegal meliputi penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah atau dengan izin yang sah namun tidak sesuai dengan ketentuan dalam izin.
Adapun lima wilayah teratas untuk dipantau, yang terindikasi mengalami penebangan hutan ilegal selama periode 1 Juli – 30 September 2019, yaitu :
- Indikasi penebangan pohon illegal seluas 480,96 ha berada di Desa Asemi Nunulai, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Indikasi penebangan pohon ilegal ini terjadi di kawasan hutan lindung dengan tutupan hutan lahan kering primer, dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit XX Laiwoi Tengah.
- Indikasi penebangan hutan illegal berada di Desa Persiapan Rababaka, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Indikasi penebangan hutan seluas 349,83 ha ini berada dalam kawasan hutan lindung KPHL Unit XIX NTB dan berdekatan dengan wilayah konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).
- Indikasi penebangan pohon illegal terjadi di Desa Walatana, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah seluas 231,21 ha. Wilayah terindikasi ini terjadi dalam kawasan hutan lindung, KPHL Unit VII Banawa Lalundu dan Unit VIII Kulawi.
- Indikasi penebangan hutan illegal di Desa Cantung Kiri Hulu. Desa isi berlokasi di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Penebangan hutan seluas 205,38 Ha berada dalam kawasan hutan produksi dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung. Sebagian wilayah terindikasi keempat ini masuk dalam wilayah pengelolaan KPHP Unit VI Kusan, Kalimantan Selatan.
- Indikasi penebangan hutan illegal kelima berada di Desa Cantung Kiri Hulu, Kecamatan Hampang, Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan, dan terletak di sebelah barat daya wilayah terindikasi keempat. Penebangan hutan seluas 105,12 ha ini berada di kawasan hutan produksi.
Daftar Kelima Wilayah Teratas tersebut masih berupa indikasi yang merupakan hasil analisis menggunakan sejumlah instrumen yakni GLAD Alert, Peta Status Kawasan Hutan, dan Peta Tutupan/Penggunaan Lahan. Namun demikian, hasil analisis ini dapat menjadi petunjuk dalam menentukan wilayah hutan prioritas untuk dipantau dari ancaman penebangan illegal.
Sebagaimana diketahui, kasus illegal loggin sendiri merupakan bentuk dari kejahata lingkungan terorganisasi. Kejahatan lingkungan sendiri diatur dalan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tenatng Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan hukuman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banya Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UNIB