Oleh : Eko Agusrianto
Kalimat tersebut mengandung keraguan terhadap orang yang mencoba-coba untuk masuk ke dunia pemerintahan menjadi pemimpin publik. Sebab buat anak saja tidak boleh coba-coba apalagi menjadi pemimpin. Karena konsekuensi menjadi pemimpin tentu jauh lebih berat daripada hanya sekadar membuat anak. Membuat anak tanggung jawabnya hanya satu saja, melahirkan, mengasuh, membesarkan dan mendidik sampai kemudian dewasa dan mandiri.
Tetapi menjadi pemimpin jauh lebih besar tanggung jawabnya, sebab mengurusi seluruh warga negara, seluruh wakyat di wilayah yang dipimpin, dengan segala berbagai urusan, mulai dari persoalan kebutuhan yang bersifat fisik, mental, spiritual dan lain-lain. Seluruh kebutuhannya perlu menjadi perhatian pemimpin, mulai dari kesehatan, pendidikan, pekerjaan, keamanan dan seterusnya. Mulai dari yang bersifat personal sampai yang bersifat komunal.
Mengelola wilayah yang demikian luas, dengan masyarakat majemuk, dengan strata pendidikan dan pemahaman yang berbeda tersebut, menjadi tantangan tersendiri bagi pemimpin yang memimpin sebuah daerah. Dibutuhkan seperangkat kemampuan untuk dapat mengikuti ritme, irama dan dinamika kerja. Sehingga pemimpin tidak hanya jadi, tapi juga memiliki kapasitas dan kemampuan.
Maka, menjadi penting, pemimpin itu harus memiliki pengalaman. Pengalaman tidak harus semata-mata di level atau jabatan yang sama. Namun juga pengalaman yang relevan dan beragam. Pengalaman yang relevan ini perlu menjadi catatan penting. Orang yang menjadi pemimpin eksekutif, perlu mempertimbangkan pengalaman yang memadai di dunia eksekutif. Sehingga secara teknis, ada ketersambungan dan asas kesinambungan di dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab secara baik.
Pengalaman beragam terkait dengan pengalaman lintas (cross) yang tidak harus dalam bidang yang sama. Tetapi pengalaman yang relevan. Misalnya orang yang hendak menjadi Walikota, perlu memiliki pengalaman yang berkaitan dengan bidang eksekutif. Pengalaman lintasnya adalah pengalaman menjadi pejabat di level eksekutif. Salah satu sebabnya adalah karena menjadi Walikota harus mampu berkomunikasi yang baik dengan legislatif, terutama pada saat proses pengambilan kebijakan bersama, pembuatan peraturan daerah, pembuatan peraturan Walikota dan seterusnya, termasuk hal membangun komunikasi politik, sehingga tercipta sinergitas dan harmonisasi, untuk bekerja melaksanakan program pembangunan untuk rakyat.
Salah satu tokoh Bengkulu yang memiliki pengalaman panjang sebagai pejabat publik dan pemimpin adalah Helmi Hasan. Helmi hasan sudah menjadi Walikota Bengkulu dua periode. Sebelum menjadi walikota selama dua periode, Helmi juga telah dipercaya oleh rakyat untuk menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bengkulu maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Bengkulu.
Hal ini dilihat sebagai hal positif oleh pengamat politik di Bengkulu, Dr. Mesterjon. Menurut Mesterjon, pengalaman panjang Helmi Hasan sebagai pejabat di legislatif dan eksekutif bisa menjadi pertimbangan masyarakat. Apalagi Helmi Hasan juga berangkat awalnya dari wakil rakyat di DPRD Provinsi Bengkulu. Soal pengalaman tidak perlu diragukan lagi. Sosok muda dan kinerja bisa menjadi pertimbangan masyarakat. “Helmi Hasan dari empat ini paling muda. Di kota berbeda pemilihan di kabupaten. Kota itu lebih berat, eskalasi politik yang diperlukan mendapatkan posisi,” ungkapnya.
Helmi Hasan sedang tidak coba-coba, namun sedang melanjutkan dan menuntaskan tanggung jawab dan tugas serta amanah yang diemban sebagai pemimpin. Sehingga, perlu menjadi pertimbangan yang baik pula jika publik memberi kepercayaan kepada Helmi Hasan untuk terus menjalankan tugas dan tanggung jawab, melayani rakyat dan melaksanakan program pembangunan. Termasuk pada level yang lebih tinggi dari sekadar menjadi walikota, menjadi Gubernur Bengkulu misalnya.
—Labuha, Maluku Utara, Bersambung.