JAKARTA,– Survei real–time yang dilakukan selama acara DBS Asian Insights Conference 2019, Kamis 31 Januari 2019 memperlihatkan, risiko yang paling dikhawatirkan oleh sebagian besar peserta pada tahun ini adalah gejolak ekonomi global. Adapun, faktor yang paling dikhawatirkan memicu gejolak ekonomi global ini adalah melambatnya ekonomi China.
Berdasarkan survei ini, gejolak ekonomi dunia meraih porsi 55,2%, disusul politik nasional 38,5%, dan perekonomian nasional hanya 6,3%. Hasil ini tidak saja menunjukkan kalau masyarakat yakin bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja, namun juga sekaligus menjungkirbalikkan isu negara bangkrut atau bubar.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Denni Puspa Purbasari, yang membidangi kajian dan pengelolaan isu-isu ekonomi strategis, menyampaikan risiko perlambatan China ini dalam konferensi bertema ‘Accelerating Growth for Future – Forward Indonesia’ dalam diskusi yang berlangsung Hotel Mulia, Jakarta.
“Karena ukuran ekonomi China sangat signifikan terhadap ekonomi global, tentu apa yang terjadi dengan China getarannya akan terasa tidak hanya di region, namun juga di global economy,” kata doktor ekonomi dari University of Colorado at Boulder ini.
Ekonomi Indonesia pun akan terdampak. Karena, China mempunyai posisi strategis bagi Indonesia. Pertama, karena China merupakan partner dagang terbesar bagi Indonesia, baik dari sisi impor maupun ekspor.
Kedua, China merupakan negara dengan nilai investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) ketiga terbesar di Indonesia.
Ketiga, China juga pemegang surat utang pemerintah dan pemberi pinjaman terbesar ketiga.
Gerak cepat dorong reformasi struktural
Namun, di balik tantangan tersebut, juga terbuka kesempatan yang tidak kecil. Perang dagang membuka kemungkinan perusahaan-perusahaan, yang tadinya ingin berinvestasi di China atau sudah berinvestasi di sana, mengarahkan investasinya ke negara-negara lain agar tetap bisa menembus pasar Amerika. Indonesia tentu juga bisa mengambil peluang ini.
Apalagi, Denni menegaskan, di bawah Presiden Joko Widodo, pemerintah Indonesia mempercepat pembangunan infrastruktur dan membuat terobosan kebijakan untuk meningkatkan kemudahan berusaha atau east of doing business (EoDB), yang merupakan bagian dari kebijakan reformasi struktural. Selain itu, ada reformasi birokrasi dan peningkatan sumber daya manusia.
Percepatan pembangunan infrastruktur yang digeber sejak 2015 tersebut setidaknya mulai menunjukkan hasil. Peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia melonjak, dari 63 pada 2016 ke peringkat 46 pada 2018. Evaluasi dua tahunan dari Bank Dunia ini pun mencatat, skor Indonesia naik dari 2,98 menjadi 3,15.
“Perbaikan sektor logistik ini adalah berita bagus buat ekonomi kita, karena logistik merupakan backbone e-commerce dan digitaleconomy,” kata Denni, yang meraih gelar master dari University of Illinois at Urbana-Champaign.
Sementara itu, salah satu terobosan untuk mendorong EoDB yaitu online single submission (OSS), memungkinkan pengusaha mengurus seluruh perizinan dari satu kanal secara daring. Bila sudah mencapai tahap paripurna, sistem ini akan memangkas banyak biaya, menyederhanakan banyak keruwetan, mengurangi korupsi dan pungli, serta mempersingkat waktu pengurusan.
“Mengapa EoDB? Karena Pemerintah menyadari betul peran swasta dalam menciptakan lapangan kerja dan inovasi, Inovasi adalah sumber daya saing yang menentukan survival ekonomi kita ke depan. Tugas pemerintah adalah menciptakan enabling environmentuntuk memastikan pertumbuhan sustainable dan semakin tinggi,” kata lulusan terbaik Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini.
Denni yakin, apabila kembali terpilih, Presiden Jokowi akan lebih cepat mengeksekusi reformasi struktural dan birokrasi. Sebab, berbeda dengan periode pertama pemerintahannya yang masih harus mengkonsolidasikan kekuatan politik, pada periode kedua, Jokowi sudah mapan secara politik, mengetahui who’s who, tidak ada beban, dan ingin meninggalkan legacy nyata bagi bangsa. Keyakinan ini diperkuat mempertimbangkan karakter dan latar belakang Presiden Jokowi sebagai pengusaha, yang ingin sesegera mungkin melihat kemajuan.
Siap hadapi gejolak
Selain kebijakan reformasi struktural, Denni menjelaskan, ada dua lagi pilar kebijakan ekonomi untuk menjawab berbagai tantangan ekonomi. Dua kebijakan itu yakni, kebijakan di sektor keuangan yang prudent serta kebijakan buffer cushion.
Kebijakan di sektor keuangan yang prudent itu ditunjukkan dengan koordinasi yang kuat antara Bank Indonesia (BI) sebagai penguasa moneter, Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab di sektor fiskal, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur dan mengawasi sektor keuangan. “Kebijakan yang prudent di sektor keuangan diperlukan karena, pada setiap krisis ekonomi, yang pertama kali kena adalah sektor keuangan,” ujar Denni, yang pernah menjadi asisten staf khusus Wakil Presiden Boediono.
Adapun, kebijakan buffer cushion meliputi cadangan devisa yang sangat cukup dan bilateral swap agreement (BSA) yang dilakukan oleh BI dengan beberapa bank sentral negara lain, jaring pengaman sosial berupa cadangan beras Bulog dan program bantuan sosial, jaminan simpanan masyarakat lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), serta crisis management protocol.
Dengan tiga pilar kebijakan tersebut, Denni percaya, Indonesia siap menghadapi gejolak yang mungkin muncul akibat perubahan kondisi ekonomi global. Bahkan, kendati Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,5%, ia tetap optimistis, ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh sesuai target pemerintah. “Target pertumbuhan ekonomi 5,3% mungkin tercapai,” ucap Denni mantap.
Pasalnya, mantan Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias) Boulder ini melihat, konsumsi masih akan kuat menopang ekonomi Indonesia tahun ini. Pada semester pertama, ekonomi akan ditopang belanja pemilu dan Ramadhan/Idul Fitri. Sementara, pada semester kedua, ekonomi akan ditopang oleh belanja pemerintah, swasta, serta festive seasons di akhir tahun. “Apabila Jokowi kembali terpilih, belanja infrastruktur pasti akan terus berlanjut, karena ini agenda jangka panjang,” ujar mantan konsultan PT. Bank BCA Tbk itu.
Optimisme Denni sejalan dengan hasil survei yang difasilitasi KadaData pada acara tersebut. Sebanyak 80,4% peserta yang kebanyakan berasal dari kalangan bisnis dan profesional di sektor keuangan itu yakin, prospek perekonomian Indonesia tahun ini akan membaik.(red)