Seluma, mediabengkulu.co – Terdakwa Anton dan Kayun dijatuhi hukuman satu bulan penjara oleh Hakim tunggal Pengadilan Negeri Tais, Galuh Kumalasari, Kamis (17/4) sore.
Terdakwa Anton dan Kayun telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pencurian ringan tandan buah sawit milik PTPN VII Unit Talo-Pino.
Namun hukuman selama satu bulan penjara tidak perlu dijalani oleh terdakwa Anton dan Kayun mengingat hal tersebut merupakan tindak pidana ringan atau Tipiring.
“Hukuman pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali dikemudian hari ada hakim yang memutuskan lain karena terdakwa melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan tiga bulan,” kata Galuh Kumalasari.
Sebelum pembacaan amar putusan oleh hakim, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tanah Serawai bersama mahasiswa melakukan aksi damai di depan Pengadilan Negeri Tais.
Dalam aksi ini diawali dengan ritual hukum adat punjung tigo ruang untuk memita restu dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa serta restu leluhur.
Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bengkulu, Endang Setiawan, yang juga bertindak sebagai koordinator lapangan mengatakan aksi ini dilakukan untuk menuntut keadilan.
Anton dan Kayun yang merupakan Masyarakat Adat Serawai Semidang Sakti Pering Baru dituduh telah mencuri kelapa sawit di tanahnya sendiri.
Saat ini Anton dan Kayun tengah menjalani sidang tindak pidana ringan atau Tipiring di Pengadilan Negeri Tais.
“Kita lakukan aksi damai. Aksi solidaritas kita terhadap Anton dan Kayun yang saat ini sedang mengikuti proses persidangan,” kata Endang.
“Kami mendesak pihak aparat untuk memberikan kepastian hukum dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan undang-undang,” tambah Endang.
Pada tanggal 9 Februari 2025 lalu Anton dan Kayun sempat ditahan oleh Polres Seluma atas tuduhan mencuri buah kelapa sawit yang diklaim masuk dalam hak guna usaha atau HGU PTPN VII Talo-Pino.
Konflik agraria antara PTPN VII Talo-Pino dengan Komunitas Adat Serawai Semidang Sakti Pering Baru sudah lama berlangsung.
Konflik dimulai pada tahun 1986-an, namun hingga kini belum ada penyelesaian dari pemerintah maupun aparat penegak hukum.
“Konflik ini tidak ada penyelesaian, baik dari pemerintah daerah maupun dari pihak aparat penegak hukum itu sendiri,” tutur Endang.
Sejumlah praktik kekerasan bahkan korban telah menjadi catatan kisruh perampasan wilayah adat di Tanah Serawai.
HGU yang diberikan negara diduga tanpa ada persetujuan dan dukungan masyarakat adat Serawai kala itu, dan telah membuat lahan turun temurun milik masyarakat adat Serawai hilang.
Hingga kini lebih dari satu dekade tidak ada iktikad penyelesaian dari pemerintah, sementara warga yang meyakini lahan mereka secara turun temurun tetap bertahan dan melindungi tanah mereka.
Laporan: Alsoni Mukhtiar // Editor: Sony