banner 1000x250
Kolom  

Ada Asap Tentu Ada Api

Presiden Joko Widodo meninjau lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Pekanbaru, Riau.Selasa (17/09)

Arti dari peribahasa “Ada Asap, Tentu Ada Api” adalah tiap segala sesuatunya memiliki asal mulanya. Belakangan ini Pulau Sumatera dan Kalimantan jadi sorotan banyak orang, karena mengalami bencana kabut asap dalam taraf bahaya.

Kabut asap yang ada  akibat  terbakar  hutan dan lahan, yang luasnya mencapai ribuan hektare. Pemerintah  belum mampu menangani musibah tersebut. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan dinilai sudah cukup parah dan mengkuatirkan.

LOGIKA  ASAP DAN POLITIK

Kebakaran hutan dan lahan sudah berulang kali terjadi. Tidak juga ada koreksi dan evaluasi. Banyak pendekatan yang dapat dibaca dari bahaya mengancam bencana asap.

Pada konteks cuaca, dimana kemarau panjang melanda, bahaya kebakaran memang secara potensial mengalami peningkatan. Kita tentu harus lebih sigap dalam mengantisipasi dan berusaha, dibanding menyalahkan kondisi alam.

Pemakaian aspek teknologi untuk melakukan pemetaan hotspot di berbagai lokasi rawan kebakaran harusnya dapat dijadikan sebagai acuan pengambilan kebijakan. Tidak perlu menunggu hadirnya asap, baru bertindak secara reaktif, tetapi sudah terlebih dahulu mempersiapkan model penanganan yang lebih bersifat proaktif.

Kebakaran hutan dan lahan bukan semata soal kondisi iklim dan cuaca yang merupakan aspek alamiah. Kita memahami bila kerusakan dimuka bumi disebabkan tangan-tangan jahil manusia. Maka penegakan hukum harus bersifat komprehensif. Mengapa?

Disinyalir bencana kebakaran merupakan tindakan yang disengaja, sehingga berubah statusnya dari bencana menjadi kejahatan lingkungan.

Dengan begitu, terjadi pembakaran hutan dan lahan. Proses penegakan hukum yang baru menjangkau pelaku lapangan kerap membuat geram.

Berbagai korporasi yang diduga terkait di belakangnya masih jauh dari tangan penegakan hukum berkeadilan. Bahkan putusan sanksi triliunan yang telah berketetapan hukum sekalipun, tidak pernah mampu dieksekusi. Miris.

Dibagian lain, koordinasi pusat dan daerah teramat minim, baik dalam soal antisipasi maupun penanganan saat terjadi bencana asap. Diluar masalah penetapan status kedaruratan baik di level daerah maupun pusat -nasional, yang lebih terpenting adalah tentang langkah konkrit penyelesaian masalah. Disini point kepemimpinan dimunculkan.

Diwartakan Liputan6.com Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebutkan modus operandi baru pembakaran lahan, yakni persaingan politik dalam rangka pemilihan kepala daerah.

“Muncul baru sekarangkan, ada modus operandi baru. Pembakaran hutan karena politik di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) itu. Misalnya, membakar hutan karena ada persaingan politik dalam rangka pilkada,” katanya di Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Hal tersebut disampaikannya saat membuka Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri membahas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), di Kantor Kemenko Polhukam.

Dari hasil peninjauannya di lapangan terkait karhutla, Wiranto menyebutkan penyebab kebakaran hutan yang bersifat alami hanya satu persen, sementara 99 persen perbuatan manusia.

“Nah, perbuatan manusia ini ternyata macam-macam. Memang bisa datang dari para peladang yang secara tradisional turun menurun melakukan pembakaran hutan menjelang musim hujan. Ini sudah bisa dieleminasi sebenarnya,” katanya.

Kemudian, kata dia, ulah korporasi juga yang sebenarnya sudah dapat dikurangi, terutama dengan penerapan hukum yang tegas dan lugas.

Apapun ulah manusia yang menjadi penyebab karhutla, Wiranto menegaskan bakal ditindak tegas karena sudah merugikan banyak orang, termasuk untuk kepentingan politik, sebagaimana disampaikannya tadi.

“Itu (alasan politik) juga saya minta ditindak dengan tegas, tangkap saja, hukum seberat-beratnya. Karena itu jelas-jelas merugikan kepentingan umum,” katanya.

Oleh : Adri Liyusno

Penulis adalah CEO Koran Bengkulu Group