MEDIA BENGKULU- Provinsi Bengkulu adalah sebuah provinsi yang berada di Indonesia, terletak di Pulau Sumatera, tepatnya terletak di bagian barat daya pulau Sumatera. Provinsi yang kaya akan hasil lautnya yang melimpah ruah, dan perkebunan sawit, lada serta karet yang luas.
Tapi tahukah kalian, Bengkulu memiliki sejarah yang mungkin tidak banyak orang yang tahu, bahkan masyarakat Bengkulu itu sendiri. Pada masa lalu, Provinsi tersebut adalah wilayah jajahan Inggris. Buktinya adalah adanya bangunan peninggalan-peninggalan Inggris, salah satunya adalah Benteng Malborough.
Kota Bengkulu merupakan pusat utama yang strategis bagi Inggris pada kala itu. Pada waktu itu Inggris menjajah untuk perluasan wilayah mereka. Di Indonesia, seluruh wilayah-wilayah yang berada di Sumatera telah di kuasai oleh pihak belanda, kecuali Provinsi Bengkulu, yang pada masa itu di kuasai oleh inggris. Saat di bawah jajahan Inggris, nama Bengkulu berubah menjadi “Bencoolen”.
Jika kalian pernah mengunjungi negara tetangga Singapura, pasti pernah tahu atau bahkan melewati jalan yang bernama sama dengan nama Bengkulu masa lalu tersebut. Di Negara Singapura terdapat jalanan dinamakan Bencoolen Street.
Dr. Agus Setiyanto, Penulis buku-buku sejarah tentang Bengkulu, menjelaskan bahwa sekitar tahun 1624, Belanda sebenarnya sudah mengincar Provinsi Bengkulu. Hal itu ditandai seringnya kapal Belanda mondar mandir di perairan Selebar (saat ini menjadi Pulau Baai).
Pendudukan Bengkulu dimulai saat Belanda (VOC) pada tahun 1682 mampu mengungguli Inggris (East India Company atau EIC), khususnya setelah terjadi kesepakatan antara VOC dengan Kerajaan Banten terkait perdagangan rempah-rempah.
Kondisi ini mengharuskan EIC keluar dari Jawa dan mencari daerah baru yang secara politik dan militer menguntungkan mereka dalam hal perdagangan rempah-rempah.
Sumber lain, pada tahun 1818, Sir Stamford Raffles dilantik menjadi gubernur di salah satu pelabuhan Inggris yaitu di Bengkulu. Raffles percaya bahwa Inggris perlu mencari jalan untuk menjadi penguasa dominan di wilayah ini. Salah satu jalan ialah dengan membangun sebuah pelabuhan baru di Selat Malaka.
Pelabuhan Inggris yang sudah ada seperti Pulau Pinang terlalu jauh dari Selat Melaka sedangkan Bengkulu menghadap Samudra Hindia.
Raffles berhasil menyakinkan EIC untuk mencari pelabuhan baru. Raffles tiba di Singapura tahun 1819. Dia menjumpai sebuah perkampungan Melayu kecil di muara Sungai Singapura yang diketuai oleh seorang Temenggung Johor.
Pulau itu dikelola oleh Kesultanan Johor tetapi keadaan politiknya tidak stabil. Pewaris Sultan Johor, Tengku Abdul Rahman dikuasai oleh Belanda dan dipengaruhi oleh para saudagar Bugis. Raffles kemudian mengetahui bahwa Tengku Abdul Rahman menjadi sultan hanya karena kakandanya, Tengku Husein, tidak ada semasa ayahnya meninggal dunia. Menurut adat Melayu, calon sultan perlu berada di sisi sultan sekiranya ingin dilantik menjadi sultan.
Sadar bahwa dia dapat memanipulasi keadaan ini, Raffles telah menyokong Tengku Hussein untuk menjadi Sultan sekiranya Tengku Hussein mau membolehkan Inggris membuka pelabuhan di Singapura dan sebagai balasan Inggris akan membayar uang tahunan kepada Tengku Hussein.
Traktat London (pihak Inggris disebut The Anglo-Dutch Treaty of 1824) yang ditandatangani tahun 1824 memperkuat cengkraman Raffles atas pulau kecil ini dan ia lalu meninggalkan posnya di Bengkulu dan sang visioner ini mendirikan Singapura modern. Dengan adanya traktat atau perjanjian ini, Inggris telah menduduki Bengkulu selama 140 tahun sebelum akhirnya berpindah tangan di tangan Belanda.
Menjadikannya sebagai pelabuhan dagang dan sebuah kota jasa yang besar. Menyadari bahwa telah meninggalkan Bengkulu tanpa sisa dan berpikir bahwa pihak belanda hanya mendapatkan ampas dari mereka saja, hal yang terduga pun terjadi.
Belanda yang telah resmi memiliki Bengkulu terus mengeksplorasi kekayaan Bengkulu sampai ke pelosok dan akhirnya menemukan tambang tak terawatt yang berisi kekayaan logam mulia berupa emas yang sekarang dikenal sebagai Lebong Tandai.
Belanda yang emnemukan tambang emas berharga itu langsung mendirikan pos-pos dan rel menuju ke pertambangan dan mengelola hasil tersebut dan meraup keuntungan yang besar hingga bisa melunaskan hutang-hutang terhadap sekutu yang masih tersisa.
Mengetahui hal tersebut, Raffles merasa terkejut dan tak mungkin untuk mengambil kembali Bengkulu dan melanggar Traktat London yang telah disepakati.
Raffles tak mungkin menghilangkan kenangan semasa di Bengkulu. Bersama Thomas Arnoldi ia menjalajah alam Bengkulu dan mendokumentasikan keanekaragaman hayati di Bengkulu. Ia menemukan bunga raksasa yang kemudian kita kenal dengan nama Rafflesia Arnoldi. Pendudukan Inggris di Provinsi Bengkulu yang dimulai dari tahun 1685 berakhir secara keseluruhan tahun 1825.
Berakhirnya kehadiran Inggris di Bengkulu disebabkan adanya perjanjian antara Kerajaan Inggris dengan Kerajaan Belanda.
Perjanjian ini berisikan tentang pertukaran kekuasaan Inggris di Bengkulu dengan kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura.
Pada saat itu, Singapura merupakan bagian dari Kerajaan Melaka. Sederhananya perjanjian tersebut mengatur pertukaran antara Bengkulu yang dikuasai Inggris dengan Singapura yang dikuasai Belanda.
Banyak rakyat-rakyat melayu khusunya orang Bengkulu yang berhijrah ke Temasek (nama lain Singapura) dan mendirikan komunitas Melayu. Orang-orang inilah yang kemudian mempertahankan populasi Melayu di Singapura sebelum pada akhirnya tergerus oleh komunitas lain seperti China, India, dan Bangladesh.
Komunitas Singapura (Melayu) menganggap Melayu Bengkulu sebagai saudara yang mempertahankan keragaman budaya Melayu. Untuk menghargai sekaligus mengenang hubungan yang baik dimasa lalu dengan Bengkulu, Pemerintah Singapura menamakan salah satu jalanannya sebagai Bencoolen Street, begitu juga di Desa di Bengkulu dan Sumatera Selatan bernama atau disebut Singapura.
Nama jalan Bengkulu ini sengaja diberikan Raffles untuk mengenang kehadirannya di Bengkulu. Bencoolen Street adalah sebuah kawasan bisnis lama yang kini menjadi tempat wisata belanja termurah dengan hotel-hotel untuk para backpacker.
editor: Andika Wahyu
Dikuti dari berbagi sumber